Allah Bukan Segalanya : Mitos Takdir dan Kebodohan yang Dipuja

admin
0

Satire umat menjadikan agama sebagai obat tidur massal, kritik provokatif terhadap mitos “Allah segalanya.”

Umat ini punya kebiasaan aneh. Segala hal dilempar ke Allah.

  • Dompet hilang → “Ya sudah, Allah yang atur.”
  • Usaha bangkrut → “Allah belum kasih rezeki.”
  • Anak bodoh di sekolah → “Allah belum kasih kecerdasan.”

Kalau begitu, buat apa kau hidup?
Kenapa tidak sekalian minta Allah yang mandi, Allah yang kerja, Allah yang bayar cicilan rumahmu?

Kalau kau masih repot-repot kerja, berarti diam-diam kau sendiri tidak percaya bahwa “Allah segalanya.” Ironis, bukan?

Lucu lagi, Allah juga diperlakukan seperti Valium, obat penenang kolektif.

  • “Sabar ya, Allah yang atur.”
  • “Tawakal saja, pasti ada gantinya.”
  • “Ikhlaskan, Allah punya rencana indah.”

Pertanyaannya sederhana: itu motivasi? Atau hipnosis massal?
Kalau semua sudah ada “rencana indah,” buat apa lagi ada kerja keras?

Tidak heran umat ini candu.
Ketagihan ceramah rohani seperti orang ketagihan pil tidur:
hari ini tenang sebentar, besok panik lagi, lusa datang lagi.

Agama pun berubah jadi apotek besar.
Allah jadi resep obat.
Ustadz jadi apoteker.
Umat? Pasien kronis tanpa harapan sembuh.


Kritik yang Tak Pernah Hilang

Sejarah selalu menyimpan ironi.
Gagasan paling berbahaya sering kali lahir dari pertanyaan paling sederhana.

Yuval Noah Harari, dalam Sapiens, menulis:

“Agama besar selalu mengklaim bahwa mereka mengajarkan kebenaran universal. Tetapi pada kenyataannya, setiap agama hanyalah sebuah sistem cerita manusia untuk menciptakan keteraturan sosial.”

Karl Marx bahkan lebih brutal: 

“Agama adalah candu masyarakat.” 

Dan Richard Dawkins menyodorkan cermin pahit:

“Kita semua adalah ateis terhadap sebagian besar dewa yang pernah dipercaya umat manusia. Satu-satunya perbedaan antara seorang ateis dan orang beragama adalah jumlah dewa yang mereka tolak.” 

Coba pikirkan:
Mengapa menertawakan Zeus, Osiris, atau dewa Mesopotamia sebagai mitos, tapi bersikeras habis-habisan mempertahankan “Allah segalanya”?

Bukankah itu kontradiksi? 

Carl Sagan, sang astronom, menutup dengan palu besar:

“Klaim luar biasa memerlukan bukti luar biasa.”
Kalau begitu, klaim bahwa “Allah segalanya” bukan sekadar ucapan puitis itu klaim metafisis.

Tapi apakah ada bukti nyata? Atau hanya candu kolektif? 


Pertanyaan yang Membuka Luka

Kalau semua sudah ditakdirkan Allah, kenapa Umar bin Khattab menghindari wilayah wabah?
Bukankah beliau bisa berkata: “Kalau sudah takdir Allah, kita masuk saja, kalau mati ya mati.”
Tapi jawabannya justru tajam: “Aku memilih takdir yang lain.”

Kalau Allah segalanya, kenapa pasukan Nabi kalah di Perang Uhud?
Kenapa Qur’an sendiri menyatakan kekalahan itu akibat kesalahan strategi para pemanah?
Kenapa bukan karena “Allah sedang menguji”?

Kalau Allah segalanya, kenapa Nabi Yusuf harus membuat rencana cadangan pangan untuk menghadapi paceklik?
Kenapa tidak berkata: “Biarkan saja, toh Allah segalanya”?

Pertanyaan-pertanyaan ini sederhana tapi menghantam jantung dogma.
Apakah benar Al-Qur’an pernah berkata: “Allah segalanya” dalam arti semua baik-buruk, sukses-gagal, cerdas-bodoh, hanyalah tangan Allah?
Atau itu hanya tafsir malas yang diproduksi untuk membuat umat jinak dan pasrah?


Ilusi Takdir: Menjual Malas dengan Nama Allah

Inilah penyakit terbesar kita: menjual kemalasan dengan label takdir.

  • Bisnis gagal → bukan karena strategi bodoh, tapi “Allah belum kasih jalan.”
  • Kecelakaan → bukan karena melanggar aturan lalu lintas, tapi “Allah sudah menakdirkan.”
  • Negeri hancur → bukan karena pejabat korup, tapi “Allah sedang menguji kita.”

Berapa lama lagi kita akan menghina Allah dengan cara ini?
Berapa lama lagi kita menjadikan Tuhan kambing hitam dari kebodohan kolektif?

Apakah benar kita beriman?
Atau kita hanya pecandu dogma, yang butuh alasan indah untuk menutupi kegagalan?


Industri Agama: Obat Tidur Massal

Mari jujur: agama hari ini adalah industri paling tahan banting.

Krisis? Tetap laris.
Resesi? Justru makin ramai.
Pandemi? Ceramah daring meledak.

Kenapa?
Karena produk agama tidak perlu pabrik, tidak perlu riset, tidak perlu bahan baku.
Cukup satu kalimat: “Allah segalanya. Sabar. Tawakal. Surga menunggu.”
Dan boom! Laku keras.

Motivasi agama versi modern mirip obat tidur.
Sabar palsu. Tawakal instan.
Menenangkan sebentar, tapi tidak menyelesaikan masalah.

Umat pun bukan mencari solusi, tapi mencari dalil untuk tetap tidak berubah.
Umat bukan mencari akal sehat, tapi mencari hipnosis kolektif.

Apakah ini iman?
Atau sekadar candu?


Allah yang Dihina

Ironinya, dengan semua mitos “Allah segalanya” ini, siapa sebenarnya yang menghina Allah?

Apakah ateis yang berkata: “Allah tidak ada”?
Atau justru umat beriman yang berkata:

  • “Allah yang bikin aku miskin.”
  • “Allah yang bikin aku gagal.”
  • “Allah yang bikin aku korup.”

Kalau semua baik-buruk hanyalah “permainan Allah,” lalu untuk apa ada neraka?
Untuk apa ada pahala dan dosa?
Apakah Allah sedang menzalimi ciptaan-Nya sendiri?

Pertanyaan itu bukan blasphemy.
Pertanyaan itu logika.
Dan justru karena umat takut logika, mereka terus berlindung di balik kata sakti: “Allah segalanya.”


Sebuah File Rahasia

Tulisan ini terlalu singkat untuk membongkar semuanya.
Tapi satu hal jelas: kita hidup dalam kebodohan yang dipoles dengan kalimat manis.

Dan ketika kebodohan itu dipuja, Allah justru dihina dijadikan kambing hitam atas kegagalan manusia.

Ada sebuah buku yang membedah ini secara brutal.
Lengkap dengan ayat, hadis, kisah sahabat, dan sejarah yang selama ini dikubur dogma.


📂 “Allah Bukan Segalanya”

Sebuah dokumen investigatif gaya Paralogicia, yang menelanjangi mitos paling berbahaya dalam sejarah umat.


👉 https://sites.google.com/view/paralogicia/allah-bukan-segalanya?


Ingin tahu teori-teori lain yang dibaliknya ada kepentingan industri?

📚 Penjelajahan: Kesehatan | Psikologi | Tradisi | Hikmah | 

Tags

Posting Komentar

0Komentar
Posting Komentar (0)