📌 Pendahuluan: Di Tengah Ancaman,
Hadir Peluang
Bulan Agustus. Bendera merah putih mulai berkibar
di gang-gang sempit, lomba balap karung kembali jadi agenda nasional, dan
rakyat bersiap menyambut ulang tahun kemerdekaan ke-80. Tapi di balik semarak
Agustusan, negeri ini kembali diterpa isu lama yang sudah menjadi bagian dari
identitas digital kita: kebocoran data.
Pusat Data Nasional (PDN) mengalami kebocoran
fatal, data rakyat bocor ke ruang gelap internet, dan masyarakat hanya bisa
pasrah sambil ngetik “cari cara ganti NIK” di Google. Tapi di tengah krisis
itu, sang Presiden justru tampil beda: beliau tidak panik, tidak mengeluh,
malah memutar arah.
Bukan sekadar menambal lubang, Presiden memilih
strategi yang lebih progresif:
“Kalau data rakyat bocor juga, kenapa tidak dijual sekalian?”
💡 Visi Cerdas di Era Digital: Dari
Kebocoran ke Ekspor
Langkah ini bukan spontan. Ini bukan keputusasaan.
Ini adalah strategi jenius di era digital.
Daripada membiarkan data rakyat bocor gratis dan tidak menguntungkan siapa pun
(selain hacker), Presiden memilih untuk melegalkan ekspor data sebagai
komoditas unggulan.
Data bukan lagi aib, tapi produk ekspor.
Dan seperti ekspor sawit dan batu bara, rakyat tidak perlu tahu cara kerja
detailnya. Cukup percaya, lalu ikut bangga.
🇺🇸 Kenapa
Amerika?
Amerika bukan sekadar negara superpower. Ia adalah
pusat inovasi, teknologi, dan—yang terpenting—lapar data.
Dengan mengekspor data rakyat ke Amerika, pemerintah Indonesia membuka jalur
diplomasi baru: “kerja sama metadata lintas benua.”
Presiden menjelaskan, “Daripada data bocor
diam-diam di PDN tanpa manfaat, lebih baik kita ekspor terang-terangan dengan
imbal hasil.”
🧠 7 Alasan Jenius Sang Presiden
Kenapa Ekspor Data Nasional Harus Kita Dukung, Meski Bikin Pusing
Kerja sama strategis ekspor data nasional yang dilakukan Presiden memang menuai polemik.
Dari warung kopi sampai ruang podcast, dari kakek-kakek pensiunan hingga anak
UI semester 2 yang baru belajar "data governance", semuanya ikut
nimbrung nyinyir.
Katanya ini kebijakan ngawur. Katanya ini bahaya.
Katanya rakyat dikorbankan.
Tapi…
Apa benar seperti itu? Atau kita semua terlalu ketinggalan zaman untuk paham
kejeniusannya?
Maka dari itu, mari kita bedah:
7 alasan kenapa langkah sang Presiden ini harus kita dukung sepenuh hati dan
setengah logika.
Dengan mata terbuka, mulut melongo, dan kepala dingin...
Seperti habis kehujanan pakai jas hujan sobek yang dibeli via Paylater Shopee.
1. 🇮🇩 Data TikTok: Promosi Budaya Tanpa Perlu Anggaran Negara
Daripada buang miliaran buat kirim duta wisata yang
hanya bisa dadah-dadah di stan pameran…
Presiden lebih cerdas: promosi budaya lewat FYP TikTok rakyat.
Joget sarung, makan nasi padang sambil salto, prank
emak pakai daun pepaya—semuanya jadi diplomasi lunak versi rakyat.
Dan yang lebih membanggakan:
Amerika kini kenal budaya Indonesia dari FYP, bukan
dari buku sejarah.
Ini jelas efisien.
Karena kita gak perlu UNESCO, kita punya algoritma.
Rakyat kita banyak yang terdaftar penerima bantuan.
Daripada terus-terusan jadi beban APBN, Presiden putar otak: "Kenapa
gak minta bantuan dari negara lain aja sekalian?"
Maka data bantuan pun diekspor, sebagai bentuk soft
begging diplomatik.
“Kami sudah bantu semampunya, mohon dilanjutkan ya,
wahai dunia.”
Dengan begitu, bantuan bisa langsung masuk ke e-wallet
rakyat.
Tanpa mampir dulu ke meja rapat dan kopi rapat.
3. 🧑🏭 Data
Pengangguran: SDM Lokal Siap Disewa Global
Pelatihan kerja? Capek.
Program sertifikasi? Ribet.
Lebih gampang langsung ekspor data pengangguran kita sebagai katalog SDM
siap pakai.
“Ini warga kami. Belum kerja. Mau disewa?”
Hasilnya?
Beberapa investor mulai tertarik buka pabrik di sini,
bukan karena jalan tol, tapi karena CV kita sudah dijual duluan.
Jenius.
4. 🛒 Data
Konsumen & UMKM: Ekspor Kebiasaan, Bukan Produk
Warga Indonesia itu rajin belanja dalam
keterbatasan.
Mereka beli:
- Helm anak ayam
- Stiker “open BO” untuk kulkas
- Keripik pedas yang bisa nyembuhin patah hati
Presiden tahu ini adalah potensi pasar yang
seksi.
Data belanja kita dikirim ke Amerika agar mereka tahu:
“Kalau ini rakyat bisa beli ginian, berarti
UMKM-nya layak investasi.”
Bahkan dikabarkan Ma’icih akan buka cabang di
California.
Itu bukan ekspor barang, bro. Itu ekspor impulsifitas dan loyalitas.
5. 🔮 Data
Paranormal: Soft Power Spiritualitas Antarbangsa
NASA memang hebat, tapi...
mereka belum pernah lihat Mbah Mijan buka aura sambil ngopi di warung.
Presiden melihat peluang:
“Kalau mereka bisa ke bulan, kami bisa kirim
pawang.”
Data paranormal diekspor sebagai bentuk soft
power spiritual.
Kini, dukun kita dibayar dengan:
- Bitcoin
- Parfum branded
- Kontrak kerja dari startup wellness California
Dukun kita sekarang bukan dukun kampung, bro.
Mereka jadi spiritual engineer internasional.
6. 🎬 Data
Curhatan Medsos: Rakyat Jadi Skenario Netflix
Netizen Indonesia tidak sekadar curhat.
Mereka menciptakan kisah hidup penuh emosi, plot twist, dan soundtrack
galau.
Presiden melihat ini bukan sebagai beban sosial,
tapi sebagai naskah emas siap jual.
Netflix tertarik:
- “Ditinggal Nikah Padahal Belum Nembak”
- “Cinta Terhalang WiFi dan Tagihan Listrik”
Presiden bangga:
“Rakyat kami tidak bahagia, tapi sangat menjual
secara naratif.”
Yang lain jadi aktor karena casting.
Kita jadi aktor karena kenyataan.
7. 🌚 Data
Aktivitas Tengah Malam: Diagnosa Kesehatan Mental Nasional
Data paling jujur keluar jam 2–4 pagi.
Pencarian Google warga:
- “Cara kaya tanpa usaha”
- “Doa agar mantan sadar”
- “Harga motor beat 2011”
- “Cara berhenti overthinking tapi tetep cinta”
Presiden mengirim data ini ke lembaga psikologis
dunia.
Hasilnya? Rencana bantuan kesehatan mental digital sedang disiapkan.
Mungkin nanti:
Kartu Prakerja diganti jadi Kartu Konseling
Nasional.
Itu bukan kegagalan sistem.
Itu adaptasi emosional menuju masa depan.
🧾 Penutup: Antara Cinta dan Canda
Jadi kalau ada yang bilang ekspor data ini
ngawur...
Coba pikir lagi.
Ini bukan kebocoran. Ini ekspor.
Bukan skandal. Ini strategi.
Bukan jual rakyat. Ini monetisasi eksistensi.
Presiden kita tidak gagal mengurus rakyat.
Beliau hanya sadar diri…
Bahwa mungkin, rakyat lebih cocok ditangani dunia.